A. Latar Belakang
Saat ini di
berbagai sektor perekonomian ditemukan banyak pelanggaran korporasi yang telah
menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti
yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan
tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada
berbagai perusahaan di masa lalu juga dapat terjadi kembali. Oleh karena itu,
perlu diketahui bagaimana cara untuk mencegahnya.
Banyak perusahaan
yang dengan sengaja atau bahkan berulang-ulang melakukan tindakan yang
melanggar etika bisnis bahkan hukum yang berlaku. Pandangan masyarakat terhadap
kejahatan korporasi sangat berbeda dengan pandangan mereka pada kejahatan
jalanan. Padahal hampir pada setiap kejadian, efek dari kejahatan korporasi
selalu lebih merugikan, memakan biaya lebih besar, berdampak lebih meluas, dan
lebih melemahkan daripada bentuk kejahatan jalanan.
Kejahatan
sesungguhnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju
dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak
kejahatan yang akan muncul ke permukaan. Begitulah setidaknya, ketika manusia
belum menemukan alat canggih seperti komputer, maka yang namanya kejahatan
komputer tidak pernah dikenal. Baru setelah komputer merajelela di berbagai
belahan dunia, maka orangpun disibukkan pula dengan efek samping yang
ditimbulkannya yaitu berupa kejahatan komputer.
Demikian
pula halnya dengan corak kejahatan di bidang perbankan, kejahatan terhadap
pencemaran lingkungan hidup, money laundering, kejahatan di bidang
ekonomi; korupsi dan lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia. Kejahatan-kejahatan
ini termasuk dalam kategori kejahatan kelas “elite”. Dikatakan “elite”,
karena tidak semua orang dapat melakukannya.
Kejahatan kelas
“elite” ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan pikir
merupakan faktor yang penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda. Namun sayang,
kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak hal, aparat penegak
hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan dengan
objek yang menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam proses
peradilan.
B. Pengertian Kejahatan Korporasi
Kejahatan
diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai
kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana).
Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu
sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah
kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam
literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu
bentuk White Collar Crime.
Menurut Sutherland,
kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku kriminal atau perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan
sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas
pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih (WCC) sebagian
besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada.
Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada ini secara lebih luas
dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama, ialah penyajian atau
pengambaran yang keliru, dan yang kedua adalah duplikasi atau perbuatan
bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan erat dengan penipuan, pengecohan
atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua berkaitan secara
langsung dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan yang secara langsung
dilakukan tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara kasat mata, yaitu dengan
cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua ini adalah
dengan membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada calon
korban, menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen
(usahawan) namun dibalik itu adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang
sebanyak-banyakanya dari calon korban, bagai musang berbulu domba.
C. Karakteristik Kejahatan Korporasi
Salah satu
hal yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional
atau tradisional pada umumnya terletak pada karakteristik yang melekat pada
kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain :
1. Kejahatan tersebut sulit terlihat ( Low
visibility ), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang rutin
dan normal, melibatkan keahlian professional dan sistem organisasi yang
kompleks.
2.
Kejahatan tersebut sangat kompleks ( complexity
) karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta
sering kali berkaitan dengan sebuah ilmiah, tekhnologi, finansial, legal,
terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun – tahun.
3. Terjadinya penyebaran tanggung jawab ( diffusion
of responsibility ) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi.
4.
Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion
of victimization ) seperti polusi dan penipuan.
5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan ( detection and prosecution ) sebagai akibat profesionalisme yang
tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
6. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas
law ) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum.
7.
Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana
pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang – undangan tetapi memang
perbuatan tersebut illegal.
D. Faktor-faktor Pendorong Kejahatan Korporasi
1.
Persaingan
Dalam
menghadapi persaingan bisnis, korporasi dituntut untuk melakukan inovasi
seperti penemuan teknologi baru, teknik pemasaran, usaha-usaha menguasai atau
memperluas pasar. Keadaan ini dapat menghasilkan kejahatan korporasi seperti
memata-matai saingannya, meniru, memalsukan, mencuri, menyuap, dan mengadakan
persekongkolan mengenai harga atau daerah pemasaran.
2.
Pemerintah
Untuk
mengamankan kebijaksanaan ekonominya, pemerintah antara lain melakukannya
dengan memperluas peraturan yang mengatur kegiatan bisnis, baik melalui
peraturan baru, maupun penegakkan yang lebih keras terhadap peraturan-peraturan
yang ada. Dalam menghadapi keadaan yang demikian, korporasi dapat melakukannya
dengan cara melanggar peraturan yang ada, seperti pelanggaran terhadap
peraturan perpajakan, memberikan dana-dana kampanye yang ilegal kepada para politisi
dengan imbalan janji-janji untuk mencaut peraturan yang ada, atau memberikan
proyek-proyek tertentu, mengekspor perbuatan ilegal ke negara lain.
3. Karyawan
Tuntutan
perbaikan dalam penggajian, peningkatan kesejahteraan dan perbaikan dalam
kondisi-kondisi kerja. Dalam hubungan dengan karyawan, tindakan-tindakan
korporasi yang berupa kejahatan, misalnya pemberian upah di bawah minimal,
memaksa kerja lembur atau menyediakan tempat kerja yang tidak memenuhi peraturan
mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.
4. Konsumen
Ini terjadi
karena adanya permintaan konsumen terhadap produk-produk industri yang bersifat
elastis dan berubah-ubah, atau karena meningkatnya aktivitas dari gerakan
perlindungan konsumen. Adapun tindakan korporasi terhadap konsumen yang dapat
menjurus pada kejahatan korporasi atau yang melanggar hukum, misalnya iklan
yang menyesatkan, pemberian label yang dipalsukan, menjual barang-barang yang
sudah kadaluwarsa, produk-produk yang membahayakan tanpa pengujian terlebih
dahulu atau memanipulasi hasil pengujian
5. Publik
Hal ini
semakin meningkat dengan tumbuhnya kesadaran akan perlindungan terhadap
lingkungan, seperti konservasi terhadap air bersih, udara bersih, serta
penjagaan terhadap sumber-sumber alam. Dalam mengahadapi lingkungan publik,
tindakan-tindkaan korporasi yang merugikan publik dapat berupa pencemaran
udara, air dan tanah, menguras sumber-sumber alam.
E. Beberapa Contoh Bentuk Kejahatan
Korporasi di Bidang Ekonomi
1. Defrauding
Stockholder (menipu
pemegang saham), contohnya tidak melaporkan sebenarnya keuntungan perusahaan.
2. Defrauding
the Public (menipu
masyarakat), contohnya persekongkolan dalam penentuan harga (fixing price), mengiklankan produk
dengan cara menyesatkan (misrepresentation product)
3. Defrauding
the Government
(menipu pemerintah), contohnya menghindari atau memperkecil pembayaran pajak
dengan cara melaporkan data yang tidak sesuai dengan data yang sesungguhnya.
4. Endangering
the Public Welfare
(membahayakan kesejahteraan/keselamatan masyarakat), contohnya kegiatan
produksi yang menimbulkan polusi dalam bentuk limbah cair, debu, dan suara.
5. Tax Crime, yaitu Pelanggaran
terhadap pertanggung jawaban atas syarat-syarat yang berkaitan dengan pembuatan
laporan berdasarkan UU Pajak. Contohnya pemalsuan laporan keuangan, pelanggaran
pajak.
6. Window
Dressing, yaitu tindakan mengelabui masyarakat yang
pada umumnya beruga kegiatan untuk menciptakan citra yang baik di mata
masyarakat dengan cara menyajikan informasi yang tidak benar.
F. Pembahasan Contoh Kasus Kejahatan Korporasi
di Bidang Ekonomi
Kasus Iklan Nissan March
Iklan sebuah produk adalah bahasa
pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku. Namun, bahasa iklan tidak
selalu seindah kenyataan. Konsumen acapkali merasa tertipu iklan. Salah satu
contohnya terjadi pada April 2012 lalu, dimana seorang konsumen yang merasa
dikelabui saat membeli mobil bermerek Nissan March. Konsumen tersebut
memutuskan membeli mobil Nissan March karena tertarik dengan jargon “irit”.
Tapi baru sebulan memakai mobil
tersebut, si konsumen merasakan keganjilan karena ia merasa jargon “irit” dalam
iklan tidak sesuai kenyataan. Bahkan yang terjadi sebaliknya, mobil tersebut
boros bahan bakar. Konsumen mencoba melakukan penelusuran dengan menghitung
jarak tempuh kendaraan dan bensin yang terpakai. Hasil penelusuran konsumen menemukan
kenyataan butuh satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga
8,2 kilometer (km). Hasil deteksi mandiri itu ditunjukkan ke Nissan cabang
Warung Buncit, tempat konsumen membeli mobil dan ke Nissan cabang Halim.
Berdasarkan iklan yang dipampang di
media online detik dan Kompas, Nissan March
mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa
terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah konsumen berkeyakinan membeli
satu unit untuk dipakai sehari-hari. Setelah pemberitahuan konsumen tersebut, Pihak
Nissan melakukan tiga kali pengujian. Konsumen tersebut hanya ikut dua kali
proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, ia meminta dilakukan tes
langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi. Kasus ini akhirnya masuk ke
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta.
Konsumen yang merasa dirugikan
tersebut meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonesia (NMI). Perjuangannya
berhasil. Putusan BPSK 16 Februari 2012 lalu memenangkan pihak konsumen. BPSK
menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat
(1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI
diminta membatalkan transaksi, dan karenanya mengembalikan uang pembelian Rp150
juta.
Tak terima putusan BPSK, NMI
mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam permohonan
keberatannya, NMI meminta majelis hakim membatalkan putusan BPSK Jakarta.
Kuasa hukum konsumen berharap majelis
hakim menolak keberatan NMI. Ia meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Ia memaparkan
bahwa kliennya kecewa dengan iklan produsen yang tak sesuai kenyataan. Sedangkan
kuasa hukum pihak NMI menepis tudingan pihak lawannya. Menurutnya, tidak ada
kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai
prosedur, dan tidak membohongi konsumen. Tapi pada akhirnya kasus ini tetap dimenangkan
pihak konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
http://andyaksalawclinic.blogspot.com/2011/05/kejahatan-korporasi.html
http://rivvei.blogspot.com/2013/01/kejahatan-korporasi-dalam-perspektif.html#_
http://yeremiaindonesia.wordpress.com/tag/pengertian-kejahatan-korporasi/
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f8503fecc5fb/kasus-iklan-nissan-march-masuk-pengadilan
(downloaded
Tue, Nov 5th 2013 1:55 pm)
No comments:
Post a Comment