Tuesday, November 5, 2013

KEJAHATAN KORPORASI DI BIDANG PEREKONOMIAN




A. Latar Belakang

Saat ini di berbagai sektor perekonomian ditemukan banyak pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di masa lalu juga dapat terjadi kembali. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana cara untuk mencegahnya.

Banyak perusahaan yang dengan sengaja atau bahkan berulang-ulang melakukan tindakan yang melanggar etika bisnis bahkan hukum yang berlaku. Pandangan masyarakat terhadap kejahatan korporasi sangat berbeda dengan pandangan mereka pada kejahatan jalanan. Padahal hampir pada setiap kejadian, efek dari kejahatan korporasi selalu lebih merugikan, memakan biaya lebih besar, berdampak lebih meluas, dan lebih melemahkan daripada bentuk kejahatan jalanan.


Kejahatan sesungguhnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul ke permukaan. Begitulah setidaknya, ketika manusia belum menemukan alat canggih seperti komputer, maka yang namanya kejahatan komputer tidak pernah dikenal. Baru setelah komputer merajelela di berbagai belahan dunia, maka orangpun disibukkan pula dengan efek samping yang ditimbulkannya yaitu berupa kejahatan komputer.

Demikian pula halnya dengan corak kejahatan di bidang perbankan, kejahatan terhadap pencemaran lingkungan hidup, money laundering, kejahatan di bidang ekonomi; korupsi dan lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia. Kejahatan-kejahatan ini termasuk dalam kategori kejahatan kelas “elite”. Dikatakan “elite”, karena tidak semua orang dapat melakukannya.

Kejahatan kelas “elite” ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan pikir merupakan faktor yang penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda. Namun sayang, kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak hal, aparat penegak hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan dengan objek yang menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam proses peradilan.

B. Pengertian Kejahatan Korporasi

Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk White Collar Crime.

Menurut Sutherland, kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku kriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih (WCC) sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada ini secara lebih luas dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama, ialah penyajian atau pengambaran yang keliru, dan yang kedua adalah duplikasi atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan erat dengan penipuan, pengecohan atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua berkaitan secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan yang secara langsung dilakukan tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara kasat mata, yaitu dengan cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua ini adalah dengan membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada calon korban, menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen (usahawan) namun dibalik itu adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyakanya dari calon korban, bagai musang berbulu domba.

C. Karakteristik Kejahatan Korporasi 

Salah satu hal yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional atau tradisional pada umumnya terletak pada karakteristik yang melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain :
1.   Kejahatan tersebut sulit terlihat ( Low visibility ), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang rutin dan normal, melibatkan keahlian professional dan sistem organisasi yang kompleks.
2.      Kejahatan tersebut sangat kompleks ( complexity ) karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sebuah ilmiah, tekhnologi, finansial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun – tahun.
3.     Terjadinya penyebaran tanggung jawab ( diffusion of responsibility ) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi.
4.      Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization ) seperti polusi dan penipuan.
5.   Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan ( detection and prosecution ) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
6.    Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law ) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum.
7.      Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang – undangan tetapi memang perbuatan tersebut illegal.

D. Faktor-faktor Pendorong Kejahatan Korporasi

1. Persaingan
Dalam menghadapi persaingan bisnis, korporasi dituntut untuk melakukan inovasi seperti penemuan teknologi baru, teknik pemasaran, usaha-usaha menguasai atau memperluas pasar. Keadaan ini dapat menghasilkan kejahatan korporasi seperti memata-matai saingannya, meniru, memalsukan, mencuri, menyuap, dan mengadakan persekongkolan mengenai harga atau daerah pemasaran.

2. Pemerintah
Untuk mengamankan kebijaksanaan ekonominya, pemerintah antara lain melakukannya dengan memperluas peraturan yang mengatur kegiatan bisnis, baik melalui peraturan baru, maupun penegakkan yang lebih keras terhadap peraturan-peraturan yang ada. Dalam menghadapi keadaan yang demikian, korporasi dapat melakukannya dengan cara melanggar peraturan yang ada, seperti pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, memberikan dana-dana kampanye yang ilegal kepada para politisi dengan imbalan janji-janji untuk mencaut peraturan yang ada, atau memberikan proyek-proyek tertentu, mengekspor perbuatan ilegal ke negara lain.

3. Karyawan
Tuntutan perbaikan dalam penggajian, peningkatan kesejahteraan dan perbaikan dalam kondisi-kondisi kerja. Dalam hubungan dengan karyawan, tindakan-tindakan korporasi yang berupa kejahatan, misalnya pemberian upah di bawah minimal, memaksa kerja lembur atau menyediakan tempat kerja yang tidak memenuhi peraturan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.

4. Konsumen
Ini terjadi karena adanya permintaan konsumen terhadap produk-produk industri yang bersifat elastis dan berubah-ubah, atau karena meningkatnya aktivitas dari gerakan perlindungan konsumen. Adapun tindakan korporasi terhadap konsumen yang dapat menjurus pada kejahatan korporasi atau yang melanggar hukum, misalnya iklan yang menyesatkan, pemberian label yang dipalsukan, menjual barang-barang yang sudah kadaluwarsa, produk-produk yang membahayakan tanpa pengujian terlebih dahulu atau memanipulasi hasil pengujian

5. Publik
Hal ini semakin meningkat dengan tumbuhnya kesadaran akan perlindungan terhadap lingkungan, seperti konservasi terhadap air bersih, udara bersih, serta penjagaan terhadap sumber-sumber alam. Dalam mengahadapi lingkungan publik, tindakan-tindkaan korporasi yang merugikan publik dapat berupa pencemaran udara, air dan tanah, menguras sumber-sumber alam.

E. Beberapa Contoh Bentuk Kejahatan Korporasi di Bidang Ekonomi

1. Defrauding Stockholder (menipu pemegang saham), contohnya tidak melaporkan sebenarnya keuntungan perusahaan.
2. Defrauding the Public (menipu masyarakat), contohnya persekongkolan dalam penentuan harga (fixing price), mengiklankan produk dengan cara menyesatkan (misrepresentation product)
3. Defrauding the Government (menipu pemerintah), contohnya menghindari atau memperkecil pembayaran pajak dengan cara melaporkan data yang tidak sesuai dengan data yang sesungguhnya.
4. Endangering the Public Welfare (membahayakan kesejahteraan/keselamatan masyarakat), contohnya kegiatan produksi yang menimbulkan polusi dalam bentuk limbah cair, debu, dan suara.
5. Tax Crime, yaitu Pelanggaran terhadap pertanggung jawaban atas syarat-syarat yang berkaitan dengan pembuatan laporan berdasarkan UU Pajak. Contohnya pemalsuan laporan keuangan, pelanggaran pajak.
6. Window Dressing, yaitu tindakan mengelabui masyarakat yang pada umumnya beruga kegiatan untuk menciptakan citra yang baik di mata masyarakat dengan cara menyajikan informasi yang tidak benar.

F. Pembahasan Contoh Kasus Kejahatan Korporasi di Bidang Ekonomi

Kasus Iklan Nissan March
Iklan sebuah produk adalah bahasa pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku. Namun, bahasa iklan tidak selalu seindah kenyataan. Konsumen acapkali merasa tertipu iklan. Salah satu contohnya terjadi pada April 2012 lalu, dimana seorang konsumen yang merasa dikelabui saat membeli mobil bermerek Nissan March. Konsumen tersebut memutuskan membeli mobil Nissan March karena tertarik dengan jargon “irit”.

Tapi baru sebulan memakai mobil tersebut, si konsumen merasakan keganjilan karena ia merasa jargon “irit” dalam iklan tidak sesuai kenyataan. Bahkan yang terjadi sebaliknya, mobil tersebut boros bahan bakar. Konsumen mencoba melakukan penelusuran dengan menghitung jarak tempuh kendaraan dan bensin yang terpakai. Hasil penelusuran konsumen menemukan kenyataan butuh satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 kilometer (km). Hasil deteksi mandiri itu ditunjukkan ke Nissan cabang Warung Buncit, tempat konsumen membeli mobil dan ke Nissan cabang Halim.

Berdasarkan iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah konsumen berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. Setelah pemberitahuan konsumen tersebut, Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian. Konsumen tersebut hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, ia meminta dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi. Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta.

Konsumen yang merasa dirugikan tersebut meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonesia (NMI). Perjuangannya berhasil. Putusan BPSK 16 Februari 2012 lalu memenangkan pihak konsumen. BPSK menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.

Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam permohonan keberatannya, NMI meminta majelis hakim membatalkan putusan BPSK Jakarta.
Kuasa hukum konsumen berharap majelis hakim menolak keberatan NMI. Ia meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Ia memaparkan bahwa kliennya kecewa dengan iklan produsen yang tak sesuai kenyataan. Sedangkan kuasa hukum pihak NMI menepis tudingan pihak lawannya. Menurutnya, tidak ada kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai prosedur, dan tidak membohongi konsumen. Tapi pada akhirnya kasus ini tetap dimenangkan pihak konsumen.


DAFTAR PUSTAKA
http://andyaksalawclinic.blogspot.com/2011/05/kejahatan-korporasi.html
http://rivvei.blogspot.com/2013/01/kejahatan-korporasi-dalam-perspektif.html#_
http://yeremiaindonesia.wordpress.com/tag/pengertian-kejahatan-korporasi/
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f8503fecc5fb/kasus-iklan-nissan-march-masuk-pengadilan
(downloaded Tue, Nov 5th 2013 1:55 pm)

No comments:

Post a Comment